Oleh : Prof Dr H Munawir Kamaluddin M.Ag ,MH ( Guru Besar Pendidikan Nilai dan Karakter UIN Alauddin Makassar)
Kamis subuh, 26 Juni 2025.
Langit Makassar, Gowa dan Maros menggantungkan awan kelabu, dan gerimis lembut mulai turun sejak fajar. Tidak deras, tidak pula mengguyur habis, namun cukup untuk menggetarkan rasa, cukup untuk membuat hati yang peka menyadari bahwa ada sesuatu yang besar sedang terjadi.
Subuh belum lama berlalu, dan dari kediaman seorang ulama sepuh di salah satu sudut Pesantren Darul Istiqamah Maccopa, telah naik ke langit sebuah ruh yang tenang dan penuh cahaya. KH. M. Arif Marzuki—ulama, pendidik, panutan, pelita—telah kembali ke sisi Tuhannya.
Tepatnya saat melaksanakan tahajud, dalam sepi malam yang menjadi tempat paling mulia untuk bermunajat, beliau mempersembahkan sujud terakhirnya. Seolah itu adalah hadiah terakhir dan persembahan pamungkas kepada Sang Khalik, sebelum akhirnya beliau dijemput pulang dengan cara yang begitu indah.
*Tangis Langit dan Derai Air Mata Umat*
Gerimis di pagi Kamis itu bukan sekadar cuaca. Ia adalah tangisan langit, isyarat duka dari alam atas berpulangnya seorang hamba yang hidupnya diabdikan untuk menyinari umat.
Dan dari bumi, ribuan orang pun tumpah ruah menuju rumah duka dan Masjid Besar yang menjadi salahsatu karya monumentalnya.
Tak ada undangan resmi, tak ada pengumuman yang gencar, tapi seperti ada komando dari langit, umat berdatangan.
Masjid Besar dan seluruh pelataran dipenuhi manusia. Di luar, kendaraan berderet sejauh mata memandang. Mereka datang bukan karena nama besar, tapi karena cinta yang tumbuh dari kehangatan pribadi beliau.
Tangis pecah, pelukan mengalir, dan doa-doa tulus bergema. Inilah perpisahan agung, bukan untuk tokoh politik atau pejabat negara, tapi untuk seorang ulama yang hidup dalam kesederhanaan dan wafat dalam keagungan.
*Senyumnya Tak Pernah Hilang dari Ingatan Kami*
KH. M. Arif Marzuki adalah sosok yang sulit dilupakan karena terlalu dalam melekat di hati. Beliau adalah guru yang tidak hanya mengajarkan dengan lisan, tapi dengan perilaku yang meneduhkan, kelembutan yang membesarkan hati, dan kerendahan diri yang memuliakan orang lain.
Beliau adalah Sosok yang ramah, menyambut siapa pun dengan tangan terbuka dan wajah bersinar. Santun dalam tutur, bahkan kepada yang lebih muda atau belum dikenal sekalipun.
Murah senyum, seolah dalam wajahnya tidak pernah ada tempat untuk berkeluh kesah ataupun merintih-menyerah.
Pemurah, tak pernah lelah memberi, dari hartanya, waktunya, bahkan pikirannya kepada siapa saja hatta kepada satpam ,penjaga kebun bahkan kepada orang yang baru saja dikenalnya sekalipun.
Punya solidaritas tinggi, tak membiarkan umat berjalan sendiri menghadapi kesulitan, melainkan turut andil didalamnya.
Berempati tinggi, menyimpan rasa sakit orang lain dalam doanya. Bahkan ditempat yang jauh melintas lautan sekalipun , beliau sekalu ada dalam sakit dan rintihan orang lain.
Peduli tanpa batas, hadir dalam duka dan suka masyarakat, dari lapisan atas hingga paling bawah, dari warga pesantren hingga santri yang tidak populer sekalipun.
*83 Tahun Sebuah Pengabdian Tanpa Henti*
Beliau tidak sekadar hidup selama 83 tahun, tetapi menghidupi umat dengan perjuangan dan pengorbanan yang tak henti. Mulai dari memperkuat lembaga pendidikan, menyemai akhlak di tengah masyarakat, hingga membentuk karakter generasi penerus bangsa, KH. M. Arif Marzuki berdiri di garis depan perjuangan dakwah dan pendidikan Islam, tanpa mengenal lelah atau pamrih.
Satu jejak abadi yang tak bisa dilupakan adalah perannya bersama ayahanda tercinta KH. Ahmad Marzuki Hasan dan saudara-saudaranya dalam mendirikan dan membesarkan Pesantren Darul Istiqamah Maccopa. Sebuah lembaga yang tak hanya mencetak santri, tapi juga membentuk generasi ulama, pemimpin masyarakat, dan pendidik umat.
*Kehilangan yang Membekas: Ulama Panutan Telah Tiada*
Sulawesi Selatan tak hanya berduka, tapi kehilangan arah kompasnya. KH. M. Arif Marzuki adalah simbol dari ulama rabbani: yang hidupnya hanya untuk Allah, dan cintanya hanya untuk umat. Ia menginspirasi dunia pesantren bukan karena retorika, tapi karena laku hidupnya. Ia menjadi referensi hidup bagi siapa pun yang mencari ketulusan, kesederhanaan, dan keistiqamahan dalam perjuangan.
Dalam diamnya, beliau bersuara,dalam tawanya, beliau mengajarkan, dan dalam kepergiannya, beliau membangkitkan kesadaran, bahwa hidup harus menjadi cahaya, bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi bagi seluruh umat.
*Kami Akan Menjaga Warisanmu dan maha karyamu*
Wahai guru kami, engkau telah mengajarkan arti hidup yang sesungguhnya. Bukan tentang gemerlap dunia, tapi tentang arti memberi, mencintai, dan mengabdi.
Engkau telah menyentuh kami, tak hanya dengan ilmu, tapi juga dengan kasihmu yang tak berpamrih.
Kami yakin bahwa engkau adalah bagian dari para pewaris nabi yang hidup dalam kesalehan dan wafat dalam kemuliaan.
Doamu yang terakhir dalam tahajud malam Kamis itu, semoga menjadi pintu cahaya untukmu memasuki surga. Dan bagi kami, menjadi janji untuk melanjutkan perjuanganmu.
Selamat jalan, Tuan Guru.
Engkau tidak pergi. Engkau hanya lebih dulu pulang. Dan di sepanjang jalan itu, jejakmu akan tetap kami ikuti.
“Ya Allah, ampunilah beliau, rahmatilah beliau, muliakanlah tempatnya, dan terimalah seluruh amalnya sebagai amal jariyah yang tak putus sampai hari kiamat.Amin
Ya Rabbal ‘Alamin# Wallahu A’lam Bishawab🙏 *MK*
*SEMOGA BERMANFFAAT*
*al-Fakir. Munawir Kamaluddin*