PERANG IRAN-ISRAEL: Masihkah Kita Terjebak dalam Sekat Sunni–Syiah?

Oleh: Prof Dr Munawir Kamaluddin MA MH, ( Guru Besar Pendidikan Nilai dan Karakter UIN Alauddin Makassar)

104
Dengarkan Versi Suara

 

Saat rudal saling bersahutan antara Iran dan Israel, perhatian dunia mengarah ke Timur Tengah.

Di tengah konflik panas yang melibatkan kekuatan besar regional dan global, satu pertanyaan muncul bagi umat Islam: Apakah kita masih akan sibuk memperdebatkan perbedaan Sunni dan Syiah, sementara musuh nyata umat, Zionisme global yang terus menunjukkan kebrutalannya?

*Iran dan Sikap Perlawanan terhadap Israel*

Iran memang negara berideologi Syiah, namun dalam kancah politik global, ia menjadi salah satu kekuatan yang paling keras menentang eksistensi Israel dan mendukung perjuangan Palestina secara aktif, baik secara diplomatik, militer, maupun logistik. Dalam konteks ini, perlawanan Iran terhadap Israel bukan karena Syiahnya, tapi karena sikap ideologis terhadap kezaliman dan penjajahan.

Ironisnya, sebagian umat Islam justru lebih sibuk mengkritik Iran karena identitas mazhabnya ketimbang melihat kontribusinya dalam perjuangan menentang Zionisme.

Dalam dunia yang sudah gamang antara kebenaran dan kepentingan, umat justru terjebak dalam fanatisme sektarian yang melelahkan.

*Sunni–Syiah: Masalah Abadi atau Luka yang Terawat?*

Memang, ada perbedaan signifikan antara Sunni dan Syiah, baik dari aspek teologi, fiqih, maupun sejarah politik. Namun perbedaan ini bukan alasan untuk membenci, memusuhi, atau memprovokasi. Apalagi di saat musuh-musuh Islam tengah menertawakan perpecahan kita.

Perdebatan mazhab bukanlah prioritas utama saat ini. Al-Qur’an mengingatkan:
وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ
“Janganlah kalian berselisih, karena kalian akan gagal dan kekuatan kalian akan hilang.” (QS. Al-Anfal: 46)

Musuh sejati umat Islam hari ini bukan Syiah, bukan Sunni, tapi kezaliman global yang disponsori kapitalisme militeristik dan penjajahan modern. Karema umat membutuhkan kebersamaan, bukan permusuhan internal.

*Umat Islam Harus Menjadi Lebih Cerdas*

Umat harus menyadari bahwa perpecahan Sunni–Syiah seringkali dimanfaatkan oleh kekuatan asing sebagai senjata adu domba (divide et impera). Bukan hanya di Timur Tengah, tapi juga di kawasan Asia Tenggara, Afrika, dan Eropa.

Konflik sektarian bukan hanya menguras energi umat, tetapi juga membuka pintu intervensi kekuatan luar. Umat seharusnya bertanya: *Siapa yang diuntungkan dari perpecahan kita?*

*Menuju Persaudaraan Sejati*

Umat Islam tidak akan maju jika terus terjebak dalam luka sejarah. Kini saatnya menyusun narasi baru: bahwa kita semua bersaudara dalam Islam, meskipun berbeda dalam mazhab.

Perbedaan dalam Islam adalah rahmat jika dikelola dengan ilmu dan akhlak, namun menjadi fitnah jika dibingkai dengan kebencian.

Palestina tidak menanyakan kita Sunni atau Syiah saat diserang. Masjid Al-Aqsha tidak membedakan madzhab ketika dihina. Maka, mengapa kita harus sibuk saling menyalahkan dan menyesatkan?

*Penutup dan Kesimpulan*

Sudah saatnya umat mengarahkan fokus pada hal-hal yang lebih besar dan bermakna.

Saat Iran dan Israel bertempur, kita seharusnya bertanya:
Di sisi siapa kita berdiri? Pada perjuangan membela kebenaran, atau pada ego sektarian yang melemahkan?

Perbedaan tak bisa dihapus. Tapi musuh bersama hanya bisa dikalahkan dengan kekuatan bersama.

“Kita tidak harus sama untuk bersatu. Tapi kita harus bersatu agar tidak binasa.” # Wallahu A’lam Bishawab🙏*MK*

*SEMOGA BERMANFAAT*
*Al-Fakir. Munawir Kamaluddin*