Pernahkah kita merenung sejenak, menatap langit senja yang membentang luas tanpa sekat, di mana warna jingga, merah, dan ungu saling berpadu tanpa berebut dominasi?.
Pernahkah kita merasakan desir angin yang menyentuh lembut wajah kita, tanpa memilih kepada siapa ia akan berhembus?.
Pernahkah kita menyadari bahwa tanah yang kita pijak ini tidak pernah bertanya tentang siapa kita, dari mana kita berasal, atau seberapa tinggi kedudukan kita?.
Alam telah mengajarkan kita tentang keseimbangan, tentang kesetaraan yang indah, tentang bagaimana semesta merangkul semua makhluk dalam harmoni yang tak terbantahkan.
Namun, mengapa manusia kerap kali melupakan ajaran alam ini? Mengapa kita membangun tembok yang tak kasat mata, tembok yang memisahkan kita berdasarkan warna kulit, garis keturunan, status sosial, atau batasan-batasan yang sesungguhnya tak pernah ada dalam fitrah kita sebagai insan?.
Tidakkah kita menyadari bahwa setiap detak jantung kita berdetak dalam irama yang sama?. Bahwa darah yang mengalir dalam tubuh kita berwarna serupa, merah menyala, membawa kehidupan yang tak membedakan siapa pun?. Bahwa kita semua adalah bagian dari satu untaian yang saling terikat, saling menopang, saling menguatkan?.
Egalitarianisme bukan sekadar konsep, bukan sekadar teori yang tertulis dalam buku-buku filsafat atau doktrin yang dihafalkan di ruang akademik. Ia adalah napas kehidupan, ia adalah harmoni dalam perbedaan, ia adalah jembatan yang menghubungkan hati ke hati, ia adalah cahaya yang menerangi lorong-lorong kegelapan perpecahan.
Rasulullah SAW. telah mengajarkan kepada kita tentang kesetaraan yang hakiki. Dalam khutbah terakhirnya di Padang Arafah, beliau berseru dengan penuh kasih dan kebijaksanaan:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَىٰ أَعْجَمِيٍّ، وَلَا لِأَعْجَمِيٍّ عَلَىٰ عَرَبِيٍّ، وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَىٰ أَسْوَدَ، وَلَا لِأَسْوَدَ عَلَىٰ أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَىٰ
“Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian satu, dan sesungguhnya ayah kalian juga satu. Ketahuilah, tidak ada keutamaan orang Arab atas orang non-Arab, tidak pula non-Arab atas orang Arab, tidak pula yang berkulit merah atas yang berkulit hitam, tidak pula yang berkulit hitam atas yang berkulit merah, kecuali dengan ketakwaan.” (HR. Ahmad)
Sebuah pengingat yang agung, sebuah seruan yang menggugah, sebuah kebenaran yang seharusnya menjadi denyut nadi dalam kehidupan kita. Lalu, mengapa kita masih membangun dinding-dinding pemisah? Mengapa masih ada rasa superioritas yang merayap dalam jiwa, seolah-olah kebanggaan duniawi lebih tinggi dari nilai kemanusiaan?
Bayangkan dunia di mana tak ada lagi perbedaan yang melahirkan kesenjangan, di mana setiap tangan yang terulur akan disambut dengan kehangatan, bukan dengan curiga. Bayangkan sebuah masyarakat di mana kita saling merangkul, bukan saling menjatuhkan; di mana kita membangun, bukan meruntuhkan; di mana kita merajut cinta, bukan menanam kebencian.
Dunia ini butuh lebih banyak cinta, lebih banyak kebersamaan, lebih banyak solidaritas. Dunia ini merindukan jiwa-jiwa yang memahami bahwa kebahagiaan sejati bukanlah ketika kita berdiri sendiri di puncak kejayaan, tetapi ketika kita mampu mengulurkan tangan kepada mereka yang masih berjuang menapaki jalan menuju keadilan dan kesejahteraan.
Maka, mari kita bertanya pada diri sendiri:
Apakah aku sudah menjadi bagian dari mereka yang menebarkan kedamaian, ataukah tanpa kusadari, aku masih menyuburkan benih-benih perpecahan?.
Apakah aku telah merangkul sesamaku sebagai saudara, ataukah aku masih melihat mereka dengan kacamata perbedaan yang sempit? Apakah aku telah memberi makna bagi hidup orang lain, ataukah aku masih terkungkung dalam ego yang menyesakkan?.
Mari kita hentikan sejenak langkah kita yang terburu-buru. Mari kita hembuskan napas dalam-dalam dan menyadari bahwa kita ini satu, kita adalah saudara dalam kemanusiaan, kita adalah satu keluarga besar yang diciptakan oleh Tuhan yang Maha Esa. Tak ada perbedaan yang seharusnya menjadikan kita terpisah, karena sejatinya, kita semua sedang menempuh perjalanan menuju tujuan yang sama: kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat.
Mari kita bangun dunia yang lebih indah dengan menjadikan hati kita sebagai ladang cinta, pikiran kita sebagai cahaya yang menuntun pada kebenaran, dan tangan kita sebagai jembatan yang menghubungkan kasih sayang.
Mari kita jalani hidup dengan penuh kesadaran bahwa setiap manusia berhak diperlakukan dengan keadilan, dengan rasa hormat, dengan kasih sayang.
Egalitarianisme bukan hanya sekadar idealisme, ia adalah kenyataan yang harus kita hidupkan. Dan perubahan itu, perubahan menuju dunia yang lebih baik, dimulai dari kita, dari hati kita, dari tindakan kecil yang penuh cinta.
Karena kita adalah satu. Karena kita adalah saudara. Karena kita semua layak untuk hidup dalam dunia yang penuh kedamaian dan cinta.
Jika kita menutup mata sejenak dan merasakan denyut kehidupan di sekitar kita, bukankah kita akan menemukan bahwa semua yang ada di alam ini bergerak dalam harmoni yang sempurna? Air yang mengalir tidak membeda-bedakan bebatuan yang dilewatinya, angin yang berhembus tidak memilih dedaunan mana yang akan disentuhnya, dan matahari yang bersinar tidak memilah siapa yang berhak mendapatkan cahayanya. Semesta mengajarkan keseimbangan dan kesetaraan, namun mengapa justru manusia, sebagai makhluk yang dikaruniai akal dan hati, seringkali terperangkap dalam sekat-sekat sosial yang membatasi makna kemanusiaan itu sendiri?.
Apakah harga diri seseorang ditentukan oleh keturunan, kekayaan, atau jabatan? Apakah kebaikan hanya berhak dimiliki oleh mereka yang memiliki status tertentu? Bukankah pada akhirnya, kita semua adalah debu yang sama di hamparan bumi ini? Egalitarianisme bukan sekadar kata yang terpahat dalam lembaran teori, tetapi ia adalah denyut nadi yang seharusnya menghidupkan setiap relung jiwa manusia.
Ia adalah suara hati yang memanggil kita untuk menghapus sekat-sekat pemisah dan menggantinya dengan jembatan kasih sayang, kepedulian, dan kebersamaan.
Islam telah menegaskan bahwa manusia diciptakan dalam kesetaraan yang mutlak di hadapan Allah, dan hanya ketakwaanlah yang menjadi ukuran kemuliaan. Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Ayat ini adalah seruan cinta dari Sang Pencipta, mengingatkan kita bahwa keberagaman bukanlah alasan untuk saling merendahkan, melainkan peluang untuk saling mengenal dan menguatkan. Rasulullah SAW. pun telah memberikan teladan yang nyata dalam membangun masyarakat yang inklusif, di mana tidak ada perbedaan perlakuan berdasarkan warna kulit, suku, atau status sosial.
Sosok Bilal bin Rabah رضي الله عنه, seorang mantan budak dari Habasyah, diberi kehormatan sebagai muadzin pertama dalam sejarah Islam. Salman Al-Farisi رضي الله عنه, seorang Persia yang berjuang mencari kebenaran, diperlakukan setara dengan para sahabat lainnya. Suhaib Ar-Rumi رضي الله عنه, yang berasal dari Romawi, mendapatkan kedudukan mulia di sisi Nabi SAW. Semua ini adalah bukti bahwa Islam tidak hanya mengajarkan egalitarianisme sebagai konsep, tetapi mewujudkannya dalam kehidupan nyata.
Namun, jika kita melihat ke sekitar kita saat ini, apakah nilai-nilai luhur ini masih kita pegang teguh? Ataukah kita telah terjebak dalam hegemoni sosial yang menilai manusia bukan dari akhlak dan amalnya, melainkan dari faktor-faktor superfisial yang tidak memiliki nilai sejati? Masihkah kita menatap orang lain dengan mata yang penuh kasih, ataukah dengan pandangan yang menghakimi dan membeda-bedakan?
Mari kita renungkan, apakah kita telah menjadi bagian dari solusi atau justru menjadi bagian dari masalah? Apakah kita telah merangkul sesama dengan tangan terbuka atau masih menutup diri dalam eksklusivitas yang semu?
Membangun dunia yang lebih adil bukanlah tugas segelintir orang, melainkan tanggung jawab kita semua. Setiap kata yang kita ucapkan, setiap tindakan yang kita lakukan, dan setiap keputusan yang kita ambil dapat menjadi batu bata yang menyusun peradaban yang lebih manusiawi, lebih berkeadilan, dan lebih penuh cinta.
Maka, sudah saatnya kita kembali kepada fitrah kemanusiaan kita. Sudah saatnya kita menanggalkan atribut-atribut duniawi yang menyesatkan, dan melihat sesama dengan hati yang bersih, dengan mata yang jernih, dengan jiwa yang penuh kelembutan.
Mari kita bangun masyarakat yang tidak hanya berbicara tentang keadilan, tetapi juga menghidupkannya. Mari kita rajut persaudaraan yang tidak hanya ada dalam retorika, tetapi juga dalam realitas.
Karena pada akhirnya, kita semua adalah satu, anak-anak dari Adam, hamba-hamba dari Tuhan yang sama, pejalan yang sedang menuju tujuan yang sama. Dan hanya dengan kebersamaan, kita bisa mencapai dunia yang lebih baik, dunia yang penuh dengan kedamaian dan cinta.
*Menyingkap Pengertian dan Makna Egalitarianisme:*
1. Pengertian Bahasa dan Istilah Egalitarianisme
Secara etimologis, kata egalitarianisme berasal dari bahasa Prancis “égal”, yang berarti “sama” atau “setara”. Istilah ini kemudian berkembang menjadi “égalitarisme” dalam bahasa Prancis dan akhirnya masuk ke dalam bahasa Inggris sebagai “egalitarianism”.
Secara terminologis, egalitarianisme adalah sebuah paham atau prinsip yang menekankan kesetaraan hak dan kesempatan bagi setiap individu, tanpa memandang perbedaan status sosial, ekonomi, ras, gender, atau latar belakang lainnya.
Dalam Islam, konsep egalitarianisme sejajar dengan prinsip الْمُسَاوَاةُ فِي الْحُقُوقِ وَالْوَاجِبَاتِ (kesetaraan dalam hak dan kewajiban) serta الْعَدْلُ (keadilan). Islam tidak membedakan manusia berdasarkan kekayaan, keturunan, atau jabatan, melainkan berdasarkan ketakwaan kepada Allah.
*Egalitarianisme Daam Perspektif Islam*
Egalitarianisme adalah prinsip yang menekankan kesetaraan hak dan kesempatan bagi setiap individu dalam masyarakat. Idealisme egalitarianisme sering kali dihadapkan pada realitas sosial yang kompleks, di mana stratifikasi ekonomi, politik, dan budaya masih menjadi tantangan utama dalam mewujudkan kesetaraan yang hakiki.
Islam sebagai agama yang universal telah menegaskan prinsip egalitarianisme, baik dalam aspek teologis, sosial, maupun ekonomi. Namun, dalam praktiknya, penerapan prinsip ini sering kali terhambat oleh faktor struktural dan budaya yang berkembang dalam masyarakat.
*Prinsip Egalitarianisme dalam Islam*
Islam memandang bahwa semua manusia diciptakan setara di hadapan Allah, dan yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaannya. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13)
Ayat ini menegaskan bahwa perbedaan ras, suku, atau status sosial tidak menjadi tolok ukur keutamaan seseorang. Islam tidak mengenal sistem kasta atau diskriminasi berdasarkan latar belakang sosial, karena yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.
Rasulullah SAW. juga menegaskan prinsip egalitarianisme dalam khutbah perpisahannya:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَىٰ أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِأَعْجَمِيٍّ عَلَىٰ عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَىٰ أَسْوَدَ وَلَا لِأَسْوَدَ عَلَىٰ أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَىٰ
“Wahai manusia! Sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu dan ayah kalian (Adam) adalah satu. Ketahuilah, tidak ada keutamaan orang Arab atas non-Arab, tidak pula non-Arab atas orang Arab, tidak pula yang berkulit merah atas yang berkulit hitam, tidak pula yang berkulit hitam atas yang berkulit merah, kecuali dengan takwa.” (HR. Ahmad, no. 23489)
Hadis ini dengan jelas menolak segala bentuk diskriminasi rasial dan menekankan bahwa keutamaan hanya terletak pada ketakwaan kepada Allah.
*Antara Idealisme dan Realitas Sosial*
Meskipun Islam telah menetapkan prinsip kesetaraan, dalam praktiknya, masih banyak ketimpangan yang terjadi dalam kehidupan sosial.
Faktor ekonomi, politik, dan budaya sering kali menciptakan hierarki sosial yang menghambat implementasi egalitarianisme yang ideal.
1. Ketimpangan Ekonomi
Islam mendorong keadilan ekonomi dengan mengharuskan distribusi kekayaan yang lebih merata melalui zakat, infaq, dan sedekah. Namun, dalam realitasnya, ketimpangan ekonomi masih menjadi masalah global. Firman Allah:
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
“…agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…” (QS. Al-Hasyr [59]: 7)
Ayat ini menegaskan bahwa Islam menolak monopoli kekayaan oleh segelintir orang dan mendorong sistem ekonomi yang lebih inklusif.
2. Ketimpangan Gender
Islam menegaskan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hal hak dan kewajiban. Rasulullah SAW. bersabda:
إِنَّمَا النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ
“Sesungguhnya perempuan adalah saudara kandung laki-laki.” (HR. Abu Dawud, no. 236)
Namun, dalam praktik sosial, masih banyak diskriminasi terhadap perempuan, baik dalam dunia kerja, pendidikan, maupun kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih serius untuk merealisasikan kesetaraan gender yang diajarkan dalam Islam.
3. Diskriminasi Sosial dan Rasial
Dalam banyak masyarakat, masih terdapat prasangka dan perlakuan diskriminatif terhadap kelompok tertentu berdasarkan etnis atau latar belakang sosial. Padahal, Islam telah menegaskan persaudaraan universal:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.” (QS. Al-Hujurat [49]: 10)
Oleh karena itu, seorang Muslim sejati harus menanggalkan segala bentuk fanatisme rasial dan sosial yang bertentangan dengan prinsip Islam.
*Solusi dalam Mewujudkan Masyarakat Egaliter*
Agar idealisme egalitarianisme dapat terwujud dalam realitas sosial, beberapa langkah dapat dilakukan:
1. Meningkatkan Kesadaran Pendidikan
Pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai Islam harus mengajarkan pentingnya keadilan dan kesetaraan.
Memastikan bahwa anak-anak diajarkan untuk menghargai sesama tanpa memandang latar belakang sosialnya.
2. Membangun Sistem Ekonomi yang Adil
Memaksimalkan fungsi zakat, infaq, dan wakaf untuk mengurangi kesenjangan sosial.
Mendorong kebijakan ekonomi yang berbasis keadilan sosial.
3. Menegakkan Hukum Secara Adil. Rasulullah SAW.bersabda:
وَايْمُ اللَّهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ، لَقَطَعْتُ يَدَهَا
“Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari, no. 6788)
Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, baik terhadap yang miskin maupun yang kaya.
4. Memperkuat Solidaritas Sosial
Menumbuhkan semangat ukhuwah Islamiyah dengan membantu sesama tanpa melihat perbedaan status.
Menghindari fanatisme golongan yang dapat memecah belah persatuan umat.
Sehingga dengan demikian , maka Egalitarianisme dalam Islam adalah prinsip fundamental yang menegaskan bahwa semua manusia setara di hadapan Allah, dengan ketakwaan sebagai satu-satunya parameter kemuliaan.
Namun, realitas sosial masih menunjukkan ketimpangan yang membutuhkan solusi nyata. Oleh karena itu, kesadaran kolektif, kebijakan yang adil, dan implementasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari menjadi kunci utama dalam mewujudkan masyarakat yang benar-benar egaliter.
Semoga tulisan ini dapat menjadi refleksi bagi kita semua untuk terus memperjuangkan keadilan dan kesetaraan dalam kehidupan sosial.
*Penutup dan Kesimpulan*
Di penghujung renungan ini, marilah kita sejenak diam, meresapi makna kebersamaan yang telah lama mungkin kita abaikan. Kita, yang sering terjebak dalam hiruk-pikuk kehidupan, berlari mengejar ambisi, mendaki puncak-puncak yang kerap kali melupakan arti kehadiran sesama.
Dalam keheningan batin, bukankah kita menyadari bahwa segala yang kita genggam pada akhirnya akan luruh? Lalu, untuk apa sekat-sekat pemisah itu kita bangun? Untuk apa tembok perbedaan kita tegakkan, jika pada akhirnya kita semua hanyalah pejalan menuju arah yang sama?
Egalitarianisme bukan sekadar gagasan, bukan pula hanya aksara yang tertulis dalam lembaran buku. Ia adalah napas yang seharusnya menghidupkan relung jiwa kita, menghadirkan kesadaran bahwa tidak ada manusia yang lebih tinggi atau lebih rendah di hadapan nilai kemanusiaan sejati.
Bukankah setiap orang memiliki hak untuk dicintai, didengar, dan dihormati? Bukankah setiap jiwa berhak merasakan kebebasan dari belenggu penghakiman dan kesenjangan?.
Kita bukanlah individu-individu yang terpisah dalam kesombongan, melainkan untaian kisah yang saling bersambung dalam harmoni kehidupan.
Seperti jalinan benang dalam satu anyaman, kita hanya akan kuat jika saling melengkapi, saling menguatkan, saling menanggung luka, dan saling berbagi bahagia. Dunia ini bukanlah panggung untuk saling mengalahkan, melainkan taman untuk saling menumbuhkan.
Maka, mari bertanya kepada diri sendiri: sudahkah kita menjadi titik cahaya bagi sesama? Ataukah kita masih menjadi bayang-bayang yang membayangi langkah orang lain? Sudahkah kita hadir dalam hidup orang lain sebagai bahu untuk bersandar, tangan untuk menggenggam, atau justru kita masih sibuk membangun menara keangkuhan yang membuat orang lain merasa kecil?
Jangan biarkan dunia ini kehilangan kehangatan. Jangan biarkan perbedaan menjadi jurang yang memisahkan, tetapi jadikan ia sebagai jembatan yang menghubungkan hati. Jangan biarkan keegoisan menggerogoti makna keberadaan kita di dunia ini, karena sejatinya, hidup ini bukan tentang siapa yang berdiri lebih tinggi, tetapi tentang siapa yang bersedia merendahkan hati untuk menebarkan kasih.
Di akhir perjalanan nanti, kita tidak akan diingat karena harta yang kita kumpulkan, bukan pula karena gelar yang kita sandang, tetapi karena jejak kebaikan yang kita tinggalkan.
Maka, jika hidup ini adalah perahu yang tengah berlayar, biarkan ia berlabuh di dermaga cinta dan persaudaraan. Jika hidup ini adalah nyanyian, biarkan ia mengalun dalam nada yang menyatukan. Jika hidup ini adalah untaian kata, biarkan ia menjadi kisah yang menginspirasi dan memberi makna.
Mari saling merangkul, karena pada akhirnya, kita semua hanyalah sesama pejalan yang ingin menemukan rumahnya dalam kedamaian.
Karena pada akhirnya, perjalanan kita di dunia ini bukan tentang siapa yang paling berkuasa, siapa yang paling kaya, atau siapa yang paling dihormati.
Kehidupan ini adalah tentang bagaimana kita menebarkan kasih, mengulurkan tangan, dan membuka hati bagi sesama.
Seperti air yang mengalir tanpa pilih kasih, seperti angin yang menyentuh siapa saja tanpa kecuali, demikian pula seharusnya kita, menjadi insan yang hadir membawa manfaat bagi sekelilingnya.
Kita sering terjebak dalam ilusi perbedaan, membangun tembok yang memisahkan, membiarkan sekat-sekat ego menghalangi kebersamaan.
Namun, pada hakikatnya, setiap insan lahir dari asal yang sama dan akan kembali kepada tujuan yang sama. Kesetaraan bukan sekadar slogan, tetapi ruh dari nilai kemanusiaan yang sejati.
Ia bukan hanya tentang hak yang harus didapat, tetapi juga tentang kewajiban yang harus ditunaikan, untuk mendengar, memahami, dan berbagi dalam keadilan yang hakiki.
Renungkanlah sejenak, betapa indah dunia ini jika kita semua saling menguatkan, bukan saling menjatuhkan. Jika perbedaan bukan menjadi jurang yang memisahkan, melainkan jembatan yang menyatukan.
Bukankah kita lebih berharga ketika menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar pengamat dalam pusaran permasalahan?
Mari kita mulai dari diri sendiri, dari hal-hal kecil yang sering kita abaikan, dari senyum yang menghangatkan, dari kata-kata yang menenangkan, dari uluran tangan yang meringankan beban sesama. Sebab dunia yang lebih baik tidak lahir dari ambisi yang rakus, tetapi dari hati yang tulus.
Pada akhirnya, kebersamaan adalah rumah kita. Ia adalah pelabuhan bagi mereka yang kelelahan, tempat bernaung bagi mereka yang tersesat.
Jangan biarkan kebencian mengeras dalam hati, jangan biarkan keangkuhan membutakan mata nurani. Sebab dalam harmoni dan kasih sayang, di sanalah letak kebahagiaan sejati.
Maka, mari melangkah bersama dalam cahaya kebersamaan. Karena pada akhirnya, setiap kita adalah bagian dari satu kisah besar: kisah tentang manusia yang mencari makna dalam cinta, keadilan, dan persaudaraan.# Wallahu A’lam Bish-Shawab.🙏*MK*
*SEMOGA BERMANFAAT*
*A-Fakir. Munawir Kamaluddin*